Pemikiran Jeffrie Gerry Tentang Renungan Pengkhotbah

 jeffriegerry24@gmail.com
0


 Berikut adalah ilustrasi yang menggambarkan perjalanan dari keputusasaan menuju pencerahan dan iman kepada Tuhan, sebagaimana tercermin dalam renungan dari Pengkhotbah. Semoga bisa memberikan visualisasi yang mendukung refleksi mendalam ini.

Pengkhotbah 1 - Kesia-siaan Segala Sesuatu

Gue dulu percaya kalau hidup ini soal ngejar sukses. Kalau bisa kaya, punya mobil keren, rumah mewah, dan jalan-jalan ke luar negeri, pasti bakal bahagia. Maka, gue banting tulang. Gue ikut bisnis MLM yang katanya "pasti cuan", tapi ternyata lebih banyak nguntungin upline daripada gue. Gue juga pernah nekat masuk trading forex tanpa belajar dulu, mikirnya gampang: asal taruh duit, nanti lipat ganda. Hasilnya? Duit habis, utang nambah.

Suatu malam, gue ngaca di kamar kos sempit yang gue sewa setelah bangkrut. Lantai berdebu, kasur bolong, dan perut gue bunyi karena cuma makan mi instan sehari sekali. Gue mikir, "Lah, hidup gue kok jadi kayak gini? Bukannya tadi gue ngejar sukses?" Rasa malu nyampur sama nyesek. Semua yang gue kejar ternyata cuma kayak ngejar asap—nggak bisa dipegang.

Terus, gue baca Pengkhotbah 1:2—"Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia." Sumpah, pas baca ini, rasanya kayak ditoyor Tuhan. Ini gue banget. Capek-capek lari, ujungnya tetap kosong. Gue baru sadar, gue sibuk ngejar dunia, tapi lupa tanya ke diri sendiri: "Emang gue hidup buat apa?"

Dari situ, gue mulai pelan-pelan berubah. Gue stop ngejar uang dengan cara instan, mulai kerja dengan jujur, dan nggak gampang kepancing sama janji-janji manis. Gue juga mulai cari makna hidup yang lebih dari sekadar materi. Hidup ini terlalu berharga kalau cuma dipakai buat ngejar hal yang ujungnya kosong.


Kalau lo pernah ngalamin hal kayak gini, jangan tunggu sampai jatuh kayak gue. Tanya ke diri sendiri: "Gue ngejar apa sih dalam hidup?" Kalau jawabannya cuma soal duit, jabatan, atau popularitas, hati-hati—bisa jadi lo juga lagi lari di treadmill kesia-siaan.

Besok, gue bakal lanjut renungan Pengkhotbah 2. Stay tuned!


Pengkhotbah 2 - Pencarian Kenikmatan yang Sia-sia

Dulu, gue pikir hidup itu harus dinikmati. Kalau bisa hedon, kenapa harus susah? Jadi, gue mulai hidup gila-gilaan. Malam minggu gue habisin buat nongkrong di klub, minum sampai teler, ketawa tanpa beban. Duit hasil kerja serabutan gue habis buat gaya, traktir teman yang akhirnya cabut pas gue bangkrut.

Gue pernah ngerasain "sorga dunia" dalam satu malam—party, cewek, dan duit. Tapi pagi harinya? Kosong. Kepala berat, dompet tipis, hati makin hampa. Pengkhotbah 2:10 bilang, "Aku tidak merintangi mataku dari apapun yang diingininya, aku tidak menahan hatiku dari kesenangan..." Itu banget gue. Gue pikir kebahagiaan datang dari kesenangan, tapi makin gue cari, makin gue ngerasa kosong.

Sampai suatu hari, gue sakit parah gara-gara pola hidup yang kacau. Di rumah sakit, nggak ada teman party yang datang jenguk. Yang ada cuma nyokap gue, nangis lihat anaknya yang katanya "nikmatin hidup" malah sekarat. Gue sadar, gue udah habisin waktu buat ngejar kesenangan yang nggak bertahan. Nikmat dunia itu fana, dan kebahagiaan sejati nggak ada di situ.

Sejak saat itu, gue mulai hidup lebih sederhana. Gue belajar menikmati hidup bukan dari pesta, tapi dari hal kecil—bicara dengan orang tua, kerja dengan niat baik, dan nggak ngeluh atas apa yang gue punya. Tuhan tunjukin, kebahagiaan sejati datang bukan dari mencari kenikmatan, tapi dari hati yang bersyukur.


Pengkhotbah 3 - Segala Sesuatu Ada Waktunya

Gue dulu nggak sabaran. Gue pengen sukses cepat, kaya cepat, dapat semua yang gue mau dalam waktu instan. Pas gagal, gue ngamuk. Gue pernah banting laptop pas bisnis online gue jeblok, nangis di kamar gara-gara putus sama pacar, dan ngerasa hidup ini nggak adil.

Tapi suatu hari, gue baca Pengkhotbah 3:1—"Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Gue mulai mikir, mungkin Tuhan emang punya rencana. Ada waktu gagal, ada waktu bangkit. Ada waktu kehilangan, ada waktu mendapat. Semua nggak harus sekarang.

Pelan-pelan, gue belajar sabar. Gue stop ngeluh kalau gagal, stop maksa sesuatu yang belum waktunya. Sekarang gue tahu, kalau Tuhan bilang belum, berarti ada alasan. Gue nggak buru-buru lagi. Gue nikmatin proses, dan ternyata, itu bikin hidup lebih damai.


Saya akan lanjutkan pasal berikutnya dalam format yang sama. Setiap pasal punya pengalaman yang unik, konyol, dan sinting, sampai akhirnya gue sampai ke pertobatan di pasal 12.

Stay tuned untuk Pengkhotbah 4!

Pengkhotbah 4 – Kesendirian dan Keegoisan yang Menyesatkan

Gue dulu tipe orang yang nggak percaya sama kerja sama. Buat gue, kalau mau sukses, ya kerja sendiri aja. Tim itu cuma ngerepotin. Gue pernah mulai bisnis kecil, tapi semua gue pegang sendiri: marketing, produksi, keuangan—semua. Hasilnya? Gue stres sendiri, kerja rodi, dan bisnis gue hancur sebelum berkembang.

Suatu hari, pas gue duduk sendirian di kafe setelah bisnis gue bangkrut, gue baca Pengkhotbah 4:9, "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka." Tuhan kayak ngomong langsung, "Lihat kan? Nggak bisa sendiri!"

Dari situ, gue mulai buka diri buat kerja bareng orang lain. Gue belajar kalau sukses itu bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang bisa berjalan bersama. Hidup juga gitu—nggak bisa sendirian. Butuh teman buat saling menopang.


Pengkhotbah 5 – Janji Kosong dan Keserakahan

Gue pernah janji ke Tuhan, "Kalau bisnis gue sukses, gue bakal nyumbang ke gereja!" Tapi pas mulai ada duit? Wah, gue malah sibuk foya-foya. Gereja? Ah, nanti aja. Sampai akhirnya, bisnis gue ambruk lagi.

Waktu baca Pengkhotbah 5:4, "Apabila engkau bernazar kepada Allah, janganlah menunda-nunda menepatinya...", gue kena tampar. Gue sadar, Tuhan nggak bisa dibohongi.

Sekarang, kalau gue janji, gue usahakan buat tepati. Nggak cuma ke Tuhan, tapi juga ke orang lain. Jangan gampang janji kalau nggak bisa nepatin. Tuhan lebih suka kita jujur daripada banyak omong kosong.


Pengkhotbah 6 – Harta Tanpa Kepuasan

Dulu, gue pikir kalau punya duit banyak, gue bakal puas. Tapi makin banyak duit yang gue dapat, makin besar pengeluaran gue. Gue beli barang mahal, tapi tetap ngerasa ada yang kurang. Pengkhotbah 6:7 bilang, "Segala jerih payah manusia adalah untuk mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan."

Pas baca ini, gue langsung mikir: "Lah, ini gue banget!" Gue selalu lapar akan sesuatu yang baru, padahal udah punya lebih dari cukup. Akhirnya, gue belajar kalau kebahagiaan sejati itu bukan dari punya segalanya, tapi dari merasa cukup.


Pengkhotbah 7 – Hikmat vs Kebodohan

Gue pernah jadi orang yang sok tahu. Merasa paling pintar, nggak mau dengerin orang lain. Sampai akhirnya, gue kena tipu bisnis bodong. Gue kehilangan semua tabungan gue, gara-gara nggak mau denger nasihat orang yang lebih berpengalaman.

Pengkhotbah 7:5 bilang, "Lebih baik mendengar hardikan orang bijak dari pada mendengar nyanyian orang bodoh." Gue dulu lebih suka pujian daripada kritik. Sekarang? Gue lebih suka dengerin orang yang bisa nunjukin kesalahan gue, daripada orang yang cuma nyenengin hati gue. Belajar dari orang lain itu lebih berharga daripada terus-terusan merasa paling benar.


Pengkhotbah 8 – Waktu Tuhan Selalu yang Terbaik

Gue pernah nanya ke Tuhan, "Kenapa orang jahat bisa kaya, sementara orang baik malah menderita?" Gue ngerasa nggak adil. Tapi Pengkhotbah 8:11 bilang, "Karena hukuman terhadap perbuatan jahat tidak segera dilaksanakan, maka hati manusia penuh niat untuk berbuat jahat."

Dari sini, gue sadar kalau Tuhan punya waktu-Nya sendiri. Gue nggak bisa buru-buru menilai hidup. Tuhan bisa membiarkan orang jahat sukses sekarang, tapi ujungnya tetap kehancuran. Yang penting, gue harus tetap hidup benar, karena Tuhan yang pegang kendali.


Pengkhotbah 9 – Hidup Ini Singkat, Nikmatilah dengan Benar

Gue pernah ngerasa hidup ini nggak berarti. "Kalau ujung-ujungnya mati, ngapain capek-capek?" Tapi Pengkhotbah 9:10 bilang, "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga..."

Gue sadar, hidup ini pendek, jadi harus dimanfaatkan dengan baik. Bukan buat hura-hura, tapi buat sesuatu yang bermanfaat. Sekarang, gue nggak mau hidup sia-sia. Gue mau lakukan yang terbaik, sebelum waktu gue habis.


Pengkhotbah 10 – Perkataan Bisa Menghancurkan

Gue pernah nyakitin banyak orang gara-gara mulut gue. Saking seringnya ngomong sembarangan, gue kehilangan teman, bahkan hampir kehilangan keluarga.

Pengkhotbah 10:12 bilang, "Perkataan mulut orang bijak menarik, tetapi bibir orang bodoh menelan dia sendiri." Gue kena batunya. Mulut gue sendiri yang bikin gue rugi. Sejak itu, gue belajar buat lebih hati-hati dalam bicara. Karena satu kata yang salah, bisa menghancurkan segalanya.


Pengkhotbah 11 – Berani Melangkah dalam Iman

Gue dulu takut gagal. Makanya, gue lebih sering diem daripada bertindak. Tapi Pengkhotbah 11:4 bilang, "Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur, dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai."

Dari situ, gue sadar kalau kalau gue terus nunggu "waktu yang tepat", gue nggak akan pernah mulai. Jadi sekarang, gue lebih berani ambil langkah, karena gue percaya Tuhan yang bakal tuntun jalan gue.


Pengkhotbah 12 – Takut akan Tuhan, Itulah yang Terpenting

Akhirnya, gue sampai di titik ini. Setelah semua kegilaan, dosa, dan kegagalan, gue akhirnya ngerti inti dari hidup ini. Pengkhotbah 12:13 bilang, "Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya..."

Selama ini, gue ngejar dunia, kesenangan, dan ambisi pribadi. Tapi semuanya kosong. Yang bikin hidup gue punya makna adalah ketika gue hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Sekarang, gue nggak lagi ngejar hal-hal yang fana. Gue cuma mau hidup dalam kebenaran, dan menikmati hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.


Kesimpulan:

Gue belajar kalau hidup ini sia-sia kalau tanpa Tuhan. Apapun yang lo kejar—duit, kesenangan, jabatan—semua bakal hilang. Tapi kalau lo hidup buat Tuhan, lo nggak akan pernah sia-sia.

Kalau lo masih bingung dengan hidup lo, coba baca Pengkhotbah. Lo bakal sadar, tanpa Tuhan, semua ini nggak ada artinya.


Itulah renungan dari Pengkhotbah 12 pasal yang gue buat dengan pengalaman pribadi yang konyol, buruk, dan sinting, sampai akhirnya gue sampai ke pertobatan.

Semoga ini bisa jadi berkat buat lo semua. 🙏🔥


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)