Pemikiran Jeffrie Gerry Tentang Kidung Agung

 jeffriegerry24@gmail.com
0

 


Renungan Kidung Agung Pasal 1: Dari Cinta Gila ke Cinta Sejati

Aku pernah jatuh cinta setengah mati—bukan pada Tuhan, tapi pada seorang perempuan yang kupikir adalah segalanya. Waktu itu, aku masih mahasiswa, dan seperti kebanyakan cowok seusia, aku percaya bahwa cinta bisa mengisi kehampaan dalam hidupku.

Aku mengejar dia seperti rusa haus yang mengendus aroma anggur, persis seperti ayat Kidung Agung 1:2: "Kiranya ia mencium aku dengan kecupan dari mulutnya! Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur." Tapi jujur, waktu itu, cinta yang kukejar lebih mirip bir murahan daripada anggur mahal. Aku mengorbankan segalanya—waktu, uang, harga diri—demi mendapatkan perhatian dia.

Namun, aku lupa satu hal: aku hanya figuran dalam kisahnya. Dia sudah punya seseorang yang jauh lebih baik dariku, dan aku hanyalah hiburan sementara.

Suatu malam, aku pergi ke kafe tempat dia sering nongkrong, berharap bisa bertemu. Tapi yang kudapat justru pemandangan menyakitkan: dia duduk di pojok dengan pria lain, tertawa lepas. Seperti ditampar keras, aku sadar betapa konyolnya diriku.

Dalam keputusasaan, aku membaca Kidung Agung 1:5: "Hitam aku, tetapi cantik, hai putri-putri Yerusalem..." Ayat ini seolah menertawakanku—bukan karena warna kulit, tapi karena jiwaku yang penuh luka dan kebodohan. Aku hitam, bukan karena matahari, tapi karena dosa dan nafsu buta yang kubiarkan menguasai hatiku.

Di titik itu, aku sadar bahwa selama ini aku haus akan cinta, tapi mencari di tempat yang salah. Aku ingin dicintai, tetapi lupa bahwa ada satu Pribadi yang sejak awal sudah mengasihiku tanpa syarat.

Malam itu, aku berjalan pulang dalam keadaan setengah mabuk, bukan oleh anggur, tetapi oleh rasa malu. Tapi justru di malam itu, aku mulai melihat terang. Cinta manusia itu fana, seringkali egois dan penuh tuntutan. Tapi cinta Tuhan? Ia lebih manis daripada anggur dan tak akan pernah mengecewakan.

Sejak saat itu, aku mulai belajar mencintai Tuhan lebih dari segalanya. Aku berhenti mengejar cinta yang sementara dan mulai mencari yang kekal. Butuh waktu, butuh pertobatan, tapi akhirnya aku paham: cinta sejati bukan tentang memiliki seseorang, tapi tentang mengalami kasih Tuhan yang tak terbatas.

Renungan Kidung Agung Pasal 2: Dari Dosa yang Tumbuh Liar ke Taman yang Dijaga Tuhan

"Seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis." (Kidung Agung 2:2)

Aku pernah merasa seperti taman liar yang penuh duri. Bukan taman yang indah dengan bunga-bunga cinta Tuhan, tapi kebun yang ditumbuhi ilalang dosa, semak-semak liar, dan akar kepahitan.

Dulu, aku punya kebiasaan yang kacau: berpesta tanpa alasan, berkeliaran di jalanan malam mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa. Teman-temanku menyebutku "si burung hantu" karena aku lebih sering hidup di malam hari dibanding siang. Tapi sebenarnya, aku hanyalah seseorang yang takut sendirian.

Suatu malam, aku dan beberapa teman mabuk berat di sebuah kafe remang-remang. Kami tertawa keras, meremehkan hidup, dan merasa seolah dunia ini milik kami. Sampai akhirnya, seseorang menantangku melakukan hal bodoh: berlari telanjang di jalanan.

Aku tak tahu kenapa aku menyanggupi, mungkin karena pikiranku sudah terlalu tumpul oleh alkohol. Aku melepas kaus, lalu jaket, lalu… ya, aku hampir melakukan itu. Tapi tepat sebelum aku bertindak lebih jauh, aku melihat seorang anak kecil di pinggir jalan menatapku dengan ekspresi bingung.

Aku tidak tahu siapa dia atau kenapa dia di sana, tapi tatapannya menusuk seperti pedang. Di detik itu, ada suara dalam hatiku yang berkata: "Jeffrie, apa yang kau lakukan dengan hidupmu?"

Aku mengambil jaketku kembali, mengumpat pada teman-temanku, lalu berjalan pergi. Di perjalanan pulang, aku merenungkan Kidung Agung 2:15: "Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga."

Aku sadar bahwa hidupku adalah kebun anggur yang sedang berbunga, tapi aku membiarkan rubah-rubah kecil (kebiasaan buruk, pesta pora, kesia-siaan) merusaknya sedikit demi sedikit. Aku pikir semua itu hanyalah hiburan, tapi nyatanya, aku sedang merusak kebun yang Tuhan berikan kepadaku.

Butuh waktu untuk membersihkan taman ini. Aku mulai menjauhi lingkungan yang buruk, belajar membangun hidup dengan disiplin, dan akhirnya menemukan bahwa hidup yang dijaga Tuhan jauh lebih tenang daripada kegilaan yang dulu kukejar.

Kini, aku ingin menjadi bunga bakung di antara duri-duri, seperti yang dikatakan dalam ayat tadi. Aku tidak sempurna, masih banyak hal yang harus diperbaiki, tapi setidaknya, aku tidak lagi membiarkan rubah-rubah kecil merusak hidupku.

Karena Tuhan tidak menciptakan kita untuk menjadi semak berduri, tapi untuk menjadi taman yang penuh keharuman kasih-Nya.


Renungan Kidung Agung Pasal 3: Mencari yang Hilang di Tempat yang Salah

"Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tidak kutemukan." (Kidung Agung 3:1)

Malam-malam panjang sering kali menjadi saksi bisu dari pencarian sia-sia dalam hidupku. Dulu, aku sering menghabiskan malam dengan mencari sesuatu yang bisa mengisi kehampaan dalam hatiku. Aku pikir, kesenangan bisa kudapatkan dari berbagai hal: nongkrong tanpa tujuan, scrolling media sosial sampai subuh, menonton hal-hal yang seharusnya tidak kulihat, bahkan terkadang merenungkan hidup dengan setengah sadar di sudut kafe.

Namun, seperti ayat ini, semakin kucari “jantung hatiku” di tempat-tempat itu, semakin aku tidak menemukannya. Aku pikir mabuk akan membuatku lupa masalah. Nyatanya, hanya menambah kebodohan baru ke dalam hidupku. Aku pikir bermain dengan banyak wanita akan membuatku merasa dihargai, nyatanya justru menambah kehampaan.

Sampai suatu malam, aku berjalan pulang dalam keadaan setengah sadar setelah berpesta. Jalanan gelap, hanya ada lampu-lampu kota yang berkedip samar. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, seorang bapak tua dengan pakaian lusuh menatapku.

"Anak muda, kamu cari apa?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tertawa kecil, "Cari jalan pulang, Pak."

Dia menggeleng, "Bukan, aku tanya dalam hidupmu. Kamu cari apa?"

Aku terdiam. Itu adalah pertama kalinya seseorang bertanya padaku dengan cara seperti itu. Aku ingin menjawab, tapi mulutku terkunci.

Keesokan harinya, aku membaca Kidung Agung 3:3: "Aku ditemui peronda-peronda kota. Kutanya mereka: ‘Apakah kamu melihat jantung hatiku?’"

Aku menyadari bahwa aku telah mencari di tempat yang salah. Aku pikir dunia bisa memberiku kedamaian, tapi nyatanya hanya Tuhan yang bisa memberikannya. Aku pikir kesenangan bisa menggantikan kasih Tuhan, tapi nyatanya semakin jauh aku pergi, semakin kosong yang kurasakan.

Akhirnya, aku belajar berhenti mencari di tempat yang salah. Aku mulai mencari Tuhan, bukan lagi di dunia malam atau dalam hal-hal yang sementara, tetapi dalam doa, dalam firman-Nya, dan dalam keheningan hati. Aku tidak sempurna, tapi setidaknya sekarang aku tahu ke mana harus mencari jantung hatiku yang sebenarnya.

Karena yang sejati tidak pernah ditemukan di kegelapan, tetapi di terang-Nya.


Renungan Kidung Agung Pasal 4: Melihat Diri Sendiri dari Sudut Pandang Tuhan

"Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau!" (Kidung Agung 4:1)

Dulu, aku punya kebiasaan buruk: membenci diri sendiri. Aku merasa tidak cukup baik, tidak cukup tampan, tidak cukup pintar, tidak cukup sukses. Aku sering bercermin dan bertanya: "Apa sih yang sebenarnya istimewa dariku?"

Aku ingat, ada satu masa ketika aku begitu terobsesi ingin diakui. Aku mencoba berbagai cara: memaksakan diri agar terlihat keren di depan teman-teman, berusaha menjadi seseorang yang sebenarnya bukan diriku, bahkan pernah hampir melakukan sesuatu yang bodoh hanya demi validasi orang lain.

Sampai suatu ketika, seorang teman yang jarang berbicara kepadaku tiba-tiba mengatakan sesuatu yang mengejutkan:

"Jeff, lo tahu nggak? Lo tuh punya sesuatu yang nggak semua orang punya. Lo unik, bro. Lo punya cara ngomong yang bisa bikin orang ketawa. Lo punya cara menulis yang bikin orang berpikir. Lo itu keren, cuma lo aja yang nggak sadar."

Aku tertawa kecil, tapi di dalam hati aku terdiam.

Saat membaca Kidung Agung 4, aku menemukan bahwa Tuhan melihat kita jauh lebih indah daripada yang kita kira. Dia tidak melihat kita dari standar dunia—dari seberapa kaya, seberapa keren, atau seberapa banyak pengikut kita di media sosial. Dia melihat hati kita, dan bagi-Nya, kita berharga.

Sejak itu, aku mulai belajar mencintai diriku sendiri seperti Tuhan mencintaiku. Aku belajar untuk berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan mulai menerima siapa diriku. Bukan berarti aku sempurna, tapi aku mulai memahami bahwa aku tidak harus menjadi seperti orang lain untuk bernilai.

Karena di mata Tuhan, aku—dan kamu—sudah cukup.


Renungan Kidung Agung Pasal 5: Ketika Tuhan Mengetuk, Jangan Terlambat Membuka

"Dengar! Kekasihku mengetuk: ‘Bukalah pintu bagiku, manisku, merpatiku, yang tak bernoda...’" (Kidung Agung 5:2)

Ada satu kejadian yang selalu kuingat. Suatu malam, seorang sahabat lamaku mengetuk pintu kosanku. Waktu itu sudah lewat tengah malam, dan aku sedang sibuk dengan urusanku sendiri—mungkin menonton film atau sekadar malas-malasan.

Aku mendengar ketukan itu, tapi aku ragu untuk membukanya. Aku berpikir, "Ah, mungkin besok saja, aku sedang tidak mood bertemu siapa pun."

Namun, keesokan harinya, aku mendapat kabar bahwa dia mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Dia butuh tempat untuk singgah malam itu, dan aku—yang seharusnya bisa menolongnya—malah membiarkan dia pergi begitu saja.

Aku merasa bersalah. Seandainya saja aku membuka pintu lebih cepat…

Ketika aku membaca Kidung Agung 5, aku sadar bahwa Tuhan sering mengetuk hati kita dengan cara yang sama. Dia datang melalui berbagai cara: melalui orang-orang yang memberi nasihat, melalui perasaan gelisah yang mengingatkan kita untuk berubah, atau bahkan melalui kejadian buruk yang mengajarkan sesuatu. Tapi sering kali, kita mengabaikannya. Kita terlalu sibuk, terlalu malas, atau terlalu egois untuk segera membuka pintu bagi-Nya.

Aku belajar dari pengalaman itu. Aku belajar bahwa ketika Tuhan mengetuk, aku harus segera menjawab. Aku tidak boleh menunda-nunda pertobatan, tidak boleh menunda-nunda untuk melakukan hal yang benar.

Karena terkadang, kesempatan untuk membuka pintu itu tidak datang dua kali.


Renungan Kidung Agung Pasal 6: Ketika Cinta Sejati Tidak Bisa Dihancurkan

"Cintaku kepadanya adalah milikku, dan aku adalah miliknya." (Kidung Agung 6:3)

Aku pernah mengalami cinta yang konyol. Saking bodohnya, aku tertawa sendiri setiap kali mengingatnya. Dulu, aku pernah menjalin hubungan yang salah. Aku tahu sejak awal bahwa orang itu bukan untukku—terlalu banyak perbedaan, terlalu banyak kompromi yang mengikis jati diriku, tapi aku tetap bertahan.

Kenapa? Karena aku takut sendirian.

Aku berpikir, "Lebih baik ada seseorang yang mengisi hariku daripada tidak ada sama sekali." Tapi perlahan, hubungan itu mulai terasa seperti penjara. Aku bukan lagi diriku sendiri. Aku mencoba menyenangkan dia dengan mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Aku kehilangan identitasku.

Lalu suatu hari, aku sadar: ini bukan cinta sejati. Ini hanya ketergantungan emosional yang mematikan.

Ketika aku membaca Kidung Agung 6, aku menemukan bahwa cinta sejati tidak bersifat menuntut atau merusak. Cinta sejati tidak membuat kita kehilangan diri sendiri, melainkan justru menguatkan kita.

Aku akhirnya memberanikan diri untuk mengakhiri hubungan itu. Rasanya seperti merobek sebagian dari diriku, tapi di saat yang sama, ada kelegaan luar biasa.

Dan ketika aku menyerahkan hatiku kepada Tuhan, aku mulai menyadari bahwa cinta sejati bukanlah sesuatu yang kita paksakan, melainkan sesuatu yang Tuhan berikan di waktu yang tepat. Aku belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki seseorang, tetapi tentang menjadi seseorang yang lebih baik karena cinta itu.

Aku tidak perlu takut sendirian, karena aku sudah dimiliki oleh Pribadi yang mencintaiku tanpa syarat.


Renungan Kidung Agung Pasal 7: Kenikmatan Dunia yang Tidak Pernah Cukup

"Betapa indahnya langkah-langkahmu dengan sandal, hai putri yang bangsawan!" (Kidung Agung 7:1)

Dulu, aku berpikir bahwa kebahagiaan datang dari memiliki banyak hal. Aku mengejar kesenangan tanpa batas—menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak kubutuhkan, mencari pengakuan dari orang lain, berpesta seolah-olah dunia ini milikku.

Aku pernah membeli barang mahal hanya untuk dipamerkan. Aku pernah memaksakan diri mengikuti tren hanya agar dianggap keren. Aku pernah berpikir bahwa semakin banyak yang kupunya, semakin bahagia aku.

Tapi kenyataannya?

Setiap kali aku mendapatkan sesuatu yang baru, kepuasan itu hanya bertahan sebentar. Setelah itu, aku kembali merasa kosong. Aku terus mengejar sesuatu yang tidak akan pernah cukup.

Ketika aku membaca Kidung Agung 7, aku melihat bagaimana Tuhan menggambarkan kecantikan yang sejati. Dia tidak berbicara tentang harta, popularitas, atau prestasi duniawi. Dia berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam—tentang keindahan yang berasal dari dalam hati, yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Aku mulai memahami bahwa kenikmatan dunia hanyalah ilusi. Kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi dari siapa kita di dalam Tuhan. Aku belajar untuk lebih bersyukur, lebih menghargai hal-hal kecil, dan lebih mencari kebahagiaan yang tidak bergantung pada benda atau status sosial.

Karena yang sejati tidak bisa diukur dengan angka, tapi dengan ketenangan hati.


Renungan Kidung Agung Pasal 8: Ketika Cinta Membawa ke Pertobatan

"Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu; karena cinta kuat seperti maut." (Kidung Agung 8:6)

Ada satu momen dalam hidupku yang menjadi titik balik. Aku masih ingat malam itu—aku duduk sendirian di dalam kamar, merasa hampa. Aku telah mencapai titik di mana aku tidak bisa lagi menipu diriku sendiri. Aku merasa kehilangan arah. Aku tahu bahwa aku telah jauh dari Tuhan, tapi aku tidak tahu bagaimana cara kembali.

Malam itu, aku menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Aku merasa seperti seseorang yang telah menghabiskan seluruh hidupnya berlari ke arah yang salah, dan sekarang aku kelelahan.

Saat membaca ayat ini, aku merasa seperti Tuhan berbicara langsung kepadaku:

"Cinta-Ku kepadamu lebih kuat dari maut. Aku tidak akan meninggalkanmu."

Aku menyadari bahwa meskipun aku telah membuat banyak kesalahan, kasih Tuhan tidak pernah berubah. Dia tetap menungguku. Dia tetap menginginkanku.

Aku memutuskan malam itu untuk berhenti lari. Aku mulai berdoa lagi. Aku mulai membaca firman-Nya lagi. Aku mulai menyerahkan hidupku kepada-Nya.

Dan perlahan, aku menemukan kembali apa yang hilang.

Aku menemukan damai yang tidak bisa diberikan dunia. Aku menemukan identitasku di dalam Tuhan. Aku menemukan cinta sejati—cinta yang tidak menuntut, tidak merusak, tidak mengikat dengan cara yang salah, tetapi membebaskan.

Aku menyadari bahwa selama ini, yang kucari bukanlah kesenangan dunia, bukan pengakuan orang lain, bukan hubungan yang salah. Yang kucari adalah Tuhan.

Dan akhirnya, aku menemukannya.




Dengan demikian, renungan dari setiap pasal Kidung Agung telah selesai, ditulis berdasarkan pengalaman pribadi yang penuh dengan kebodohan, kesalahan, dan akhirnya pertobatan.

Aku harap ini bisa menjadi refleksi bagi siapa pun yang membaca—bahwa tidak peduli seberapa jauh kita telah tersesat, kasih Tuhan selalu lebih kuat dari itu. Yang perlu kita lakukan hanyalah berhenti berlari, membuka hati, dan membiarkan Dia masuk.

Karena di dalam Tuhan, kita akan selalu menemukan jalan pulang.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)